Pecinan. Apa yang terlintas dalam benak Anda saat mendengar istilah tersebut? Sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa? Sepenggal saksi sejarah keberagaman yang masih tersisa? Atau sederetan gang-gang kecil yang dipenuhi penjaja kuliner dengan kenikmatan yang khas?
Ketiganya tidak salah. Kawasan Pecinan memang dikenal sebagai satu “kampung” kecil, yang menyimpan segudang sejarah keunikan masyarakat Tionghoa yang bermukim di daerah tertentu. Hampir seluruh kota besar di Indonesia memiliki “pecinan”nya masing-masing, hanya saja dengan sebutan yang berbeda-beda. Sebagai salah satu kota besar yang multikultur, Jakarta ternyata juga memiliki kawasan pecinannya sendiri, yang dipusatkan di Glodok, Jakarta Barat.
Berbicara mengenai Pecinan, salah satunya berbicara mengenai identitas sejarah yang dewasa ini semakin terkikis oleh pengaruh modernisasi dan kapitalisme. Miris rasanya, saat mendapati fakta nasionalisme karbitan, yang seketika menyeruak tepat pada saat masyarakat menyadari bahwa mereka telah kehilangan apa yang selama ini “lupa” mereka jaga. Pecinan merupakan salah satu simbol sejarah yang masih tersisa. Keberadaan mereka menunjukkan, betapa Indonesia sejatinya sangat kaya akan kultur, yang tentunya menarik untuk dijelajahi secara lebih mendalam.
Tertarik untuk menjadi salah satu saksi pesona arsitektur dan kuliner khas Tionghoa yang masih tersisa, pada hari itu saya memutuskan untuk melakukan eksplorasi sederhana di kawasan Pecinan Glodok. Berbekal kaki yang siap melangkah, dan semangat untuk menikmati ragam suguhan wisata khas kota lama, saya berhasil menemukan tiga tempat unik yang patut Anda jelajahi di kala senggang.
Kawasan Petak Sembilan
Pedagang kaki lima yang ramai menjajakan dagangannya, lalu lintas yang padat, serta toko-toko elektronik yang berjajar di sepanjang jalan, meyakinkan saya bahwa saya telah sampai di tempat tujuan. Kawasan Petak Sembilan, begitu masyarakat sekitar biasa menyebut salah satu pasar tradisional di daerah Glodok, Jakarta Barat ini. Berbeda dengan pasar tradisional lainnya, kawasan ini lebih tampak seperti sebuah gang panjang yang menawarkan ragam eksotisme khas Tionghoa, baik dari segi arsitektur bangunan, maupun kulinernya. Sepanjang perjalanan, tidak jarang saya berpapasan dengan beberapa turis asing yang berkeliling, sambil sesekali menikmati kuliner unik yang dijual di tempat ini. Melangkahkan kaki menyusuri Petak Sembilan, sama artinya dengan harus siap menahan berbagai godaan. Sambil menyusuri gang-gang kecil, beragam camilan seolah berebut memanggil-manggil. Hidung tidak akan berhenti terpuaskan, apalagi ketika dihadapkan dengan harum aroma cempedak goreng dan kuo tie. Selain itu, Rujak Shanghai serta es selendang mayang yang sudah sangat jarang ada di Jakarta pun, tampak masih dijual di sepanjang kawasan ini.
Nuansa oriental khas Petak Sembilan, sebenarnya akan lebih terasa jika saya bertandang tepat di kala Imlek. Pada masa ini, biasanya lampion merah sebagai salah satu ornamen khas Imlek, akan digantungkan di sepanjang jalan. Warga keturunan Tionghoa pun akan ramai berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta, sekedar untuk membeli perlengkapan khas (termasuk makanan), untuk menyambut datangnya Tahun Baru Cina tersebut.
Tidak jauh dari kawasan tersebut, saya menemukan trotoar panjang yang dipenuhi pelukis jalanan, dengan hasil lukisan yang tampak sangat hidup. Mayoritas karya dibuat berdasarkan foto asli seseorang, atau tokoh masyarakat yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Terlihat pula unsur humor, yang seringkali diselipkan di dalamnya. Saya cukup terkesan dengan seniman jalanan di tempat ini. Tangan mereka tidak pernah berhenti bergerak, bahkan ketika sedang sepi pelanggan sekalipun. Sambil sesekali bertanya kepada masyarakat sekitar yang mayoritas merupakan warga negara keturunan Tionghoa, saya berjalan menuju tujuan saya selanjutnya, Vihara Dharma Bhakti.
Bersambung Bagian 2
Oleh : Maria Miracellia Bo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar