Senin, 30 Juni 2014

Sehari Menjelajah Keunikan Pecinan Glodok - 2

Pecinan. Apa yang terlintas dalam benak Anda saat mendengar istilah tersebut? Sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa? Sepenggal saksi sejarah keberagaman yang masih tersisa? Atau sederetan gang-gang kecil yang dipenuhi penjaja kuliner dengan kenikmatan yang khas?

Tertarik untuk menjadi salah satu saksi pesona arsitektur dan kuliner khas Tionghoa yang masih tersisa, pada hari itu saya memutuskan untuk melakukan eksplorasi sederhana di kawasan Pecinan Glodok. Berbekal kaki yang siap melangkah, dan semangat untuk menikmati ragam suguhan wisata khas kota lama, saya berhasil menemukan tiga tempat unik yang patut Anda jelajahi di kala senggang.

Vihara Dharma Bhakti (Jin De Yuan)

Vihara Dharma Bhakti Tampak Dalam (Koleksi pribadi)


Vihara Dharma Bhakti Tampak Depan (Koleksi pribadi)


Vihara Dharma Bhakti Tampak Samping (Koleksi pribadi)

Dengan persiapan seadanya, saya memasuki halaman vihara yang didominasi arsitektur berwarna merah. Sekilas, tidak ada yang nampak istimewa dari vihara ini. Namun, sebuah pemandangan asing seketika menarik perhatian saya. Puluhan masyarakat dari berbagai kalangan usia, tampak memadati halaman lain vihara. Sesekali saya hampir bertubrukan dengan beberapa anak kecil yang berlarian menuju keramaian tersebut tanpa alas kaki, seakan sedang dikejar waktu.

“Biasa Mbak, itu lagi bagi-bagi duit,” ucap seorang ibu berbadan sedikit tambun, yang terlihat baru saja keluar dari keramaian. Pakaiannya sedikit lusuh, namun raut wajahnya tampak berseri-seri.

Ternyata, pemandangan tersebut bukan hal baru lagi di Vihara Dharma Bhakti. Berhubung hari saya berkunjung masih belum begitu jauh dari perayaan Imlek, maka nuansa Tahun Baru Cina juga masih tersisa di sana. Salah satunya, adalah kebiasaan berbagi rejeki kepada kaum yang membutuhkan di kala Imlek. Hal ini menjelaskan keberadaan puluhan pengemis yang memenuhi pelataran vihara. Beberapa dari mereka bahkan membawa tikar sebagai alas tidur, menunjukkan bahwa mereka bermukim di sana untuk jangka waktu yang tidak sebentar.

Memasuki vihara, saya langsung disambut dengan asap hio yang mengepul memenuhi ruangan. Puluhan umat menyalakan hio sambil memanjatkan doa di hadapan 24 altar sembahyang yang disusun mengelilingi vihara. Beberapa penjaga vihara tampak sibuk berlalu-lalang membersihkan vihara dari abu bekas hio, sambil sesekali mempersiapkan beberapa hio tambahan untuk pengunjung.

Ditemani oleh Agus, warga sekitar yang sehari-hari bekerja membersihkan dan menjaga keamanan vihara, saya pun diantar berkeliling untuk melihat kondisi vihara secara keseluruhan. Pada pelataran utama, saya melihat patung Dewi Kwan Im berdiri megah di tengah pelataran. Ukurannya sedikit lebih besar daripada patung-patung lain yang mengitari vihara. Ternyata, menurut Agus, Dewi Kwan Im diibaratkan sebagai “tuan rumah” Vihara Dharma Bhakti. Oleh karenanya, banyak orang datang ke vihara ini, secara khusus untuk bersembahyang kepada Dewi Kwan Im.

Vihara yang dibangun pada tahun 1650 ini, memang merupakan salah satu vihara tertua di Jakarta. Nilai historis yang melekat, membuat vihara ini tidak pernah sepi pengunjung, terutama masyarakat Tionghoa yang ingin bersembahyang. Para peziarah dan wisatawan juga kerap datang sembari melihat ritual pengunjung. Pesona khas yang terpancar, membuat vihara ini seringkali dijadikan obyek fotografi, dan juga lokasi syuting video klip.

Oleh : Maria Miracellia Bo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar