Selasa, 01 Juli 2014

Sehari Menjelajah Keunikan Pecinan Glodok - 3 (Habis)

Pecinan. Apa yang terlintas dalam benak Anda saat mendengar istilah tersebut? Sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa? Sepenggal saksi sejarah keberagaman yang masih tersisa? Atau sederetan gang-gang kecil yang dipenuhi penjaja kuliner dengan kenikmatan yang khas?

Tertarik untuk menjadi salah satu saksi pesona arsitektur dan kuliner khas Tionghoa yang masih tersisa, pada hari itu saya memutuskan untuk melakukan eksplorasi sederhana di kawasan Pecinan Glodok. Berbekal kaki yang siap melangkah, dan semangat untuk menikmati ragam suguhan wisata khas kota lama, saya berhasil menemukan tiga tempat unik yang patut Anda jelajahi di kala senggang.

Gereja Santa Maria de Fatima



Bangunan di hadapan saya ini, memiliki konsep arsitektur yang tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan serupa di kawasan Pecinan. Dengan dominasi warna merah, ukiran-ukiran khas yang menghias jendela, pintu besar khas bangunan Tionghoa, serta dua buah patung singa berukuran besar yang diletakkan di kedua sisi depan bangunan utama, sekilas tidak terlihat bahwa bangunan ini adalah sebuah gereja. Satu-satunya tanda yang menjelaskan adalah tulisan Gereja Santa Maria de Fatima yang dipasang di atas pintu utama. Berbeda dengan gereja-gereja Katolik lain yang kebanyakan mengusung gaya arsitektur Eropa, Gereja Santa Maria de Fatima justru memilih untuk mengusung nuansa oriental dalam hal arsitektur dan tata cara peribadatannya.

Berhubung hari itu bukan akhir Minggu, maka tidak tampak aktivitas peribadatan di sana. Setiap minggunya, gereja ini memberikan misa (sebutan peribadatan untuk orang Katolik) dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Mandarin. Misa berbahasa Mandarin, biasanya diadakan pada hari Minggu sore, pukul setengah 5. Kondisi gereja yang sepi, membuat saya ragu untuk masuk ke dalam dan mengamati lebih jauh. Beruntung, seorang pembantu gereja bernama Idris, dengan penuh keramahan menyambut saya, lalu menawarkan untuk membuka pintu gereja agar saya dapat masuk dan melihat-lihat.

Atmosfer khas Tionghoa terasa semakin kental ketika saya berada di dalam bangunan gereja. Altar yang tidak terlalu luas, ternyata mampu memancarkan pesona yang luar biasa. Warna merah tampak mendominasi tabernakel yang diletakkan di tengah altar. Ukiran khas Tionghoa juga tampak menonjol pada dua buah mimbar yang tegak menjulang di sisi kiri dan kanan altar. Tidak ketinggalan, sebagai pemanis dan penguat nuansa, dua buah lampion berwarna merah digantungkan pada atap altar. Nuansa seperti ini mungkin akan sulit Anda temukan di gereja-gereja lain.

Menurut Idris, bangunan ini dulunya bukan berupa gereja, melainkan rumah seorang Tionghoa yang tergolong kaya dan disegani di daerah tersebut. Pada tahun 1950, seorang pastor memutuskan untuk membeli bangunan tersebut dan menjadikannya gereja. Uniknya, sedari 62 tahun silam semenjak awal didirikannya, bangunan ini tidak pernah mengalami perombakan atau renovasi. Satu-satunya renovasi yang dilakukan, adalah penghilangan sekat-sekat yang dahulunya digunakan sebagai pemisah ruangan-ruangan rumah. Sisanya, bentuk rumah dan lantai yang digunakan, masih sama persis dengan keadaan awalnya. Pintu utama, konstruksi bangunan, serta dua buah singa yang melambangkan penjaga gerbang, juga masih dipertahankan hingga detik ini. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Gereja Santa Maria De Fatima ternyata dilindungi oleh undang-undang, sebagai salah satu cagar budaya pada tahun 1972, karena arsitekturnya yang masih mempertahankan gaya bangunan khas Fukien atau Tiongkok Selatan.

Melangkahkan kaki keluar dari Gereja Santa Maria de Fatima, sekaligus mengakhiri jelajah kawasan Pecinan Glodok saya hari itu. Tidak banyak kata yang bisa terucap, selain rasa penuh akibat terpuaskan oleh pengalaman yang tidak biasa. Menjelajahi kawasan Pecinan membuat saya menyadari satu hal. Nilai historikal sebuah kawasan, bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah digerus oleh zaman. Bangunan-bangunan megah boleh berdiri di pusat kota. Puluhan mal boleh terus menerus didirikan untuk mengisi kekosongan lahan. Namun jangan pernah lupa, bahwa di sekitar kita ada pesona alami, yang justru akan tetap hidup karena adanya apresiasi terhadap sejarah. Selamat mengapresiasi!

Oleh : Maria Miracellia Bo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar