Barangkali agak mengejutkan jika kita mendengar kisah tentang seorang tokoh bernama Gentiri, karena ternyata ada dua buah versi cerita yang meliputi sepak terjangnya. Satu cerita diangkat dari legenda tanah Blora yang konon menyebut Gentiri ini sebagai Ratu Adil karena perannya yang teramat penting dan cukup vital dalam membantu mengentaskan kemiskinan di kota Blora, khususnya di wilayah Kawengan, jepon. Dan satu buah riwayat diangkat dari kota Kudus, terkait hubungan Gentiri dengan Sunan Muria yang tinggal di lereng gunung Muria.
Dalam versi yang pertama, Gentiri dikenal oleh masyarakat Blora sebagai seseorang yang memiliki ilmu tinggi. ia adalah putra dari Kiai Ageng Pancuran. Gentiri tidak hanya hebat dalam hal keilmuan, namun ia juga ringan tangan. Hal ini terbukti dengan upayanya untuk membantu masyarakat miskin yang tinggal di Kawenan agar keluar dari kesusahan hidup yang mereka alami. Namun sayangnya, Gentiri justru memanfaatkan ilmunya yang mandraguna tersebut untuk mencuri harta benda para adipati dan orang-orang kaya. Kemudian harta curian tersebut ia serahkan kepada orang-orang miskin yang hidup sebatang kara. Itulah sebabnya, masyarakat Kawenan menyebutnya dengan julukan, “Maling Gentiri.” Bahkan sebagian besar penduduk Kawenan yang ditolong oleh Maling Gentiri ini menyebutnya sebagai juru selamat atau ratu adil. Akan tetapi dalam perjalanan waktu, Gentiri sadar bahwa perbuatannya (baca: mencuri) adalah perbuatan yang keliru. Sehingga ia pun insyaf dan tidak lagi mengambil hak orang lain. Hingga pada akhirnya, ia wafat dan dimakamkan di desa Kawenan, Jepon.
Sementara itu, versi yang kedua menyebutkan bahwa Gentiri dan kakaknya yang bernama Kapa merupakan adik seperguruan dengan Sunan Muria. Keduanya membantu Sunan Muria mengejar Adipati Pathak Wharak yang menculik Dewi Roroyono, putri dari Sunan Ngerang. Mereka meminta Sunan Muria untuk kembali ke gunung muria saja karena harus membimbing dan memberikan pengajaran kepada masyarakat sekitar. Sehingga keduanya berjanji akan mengembalikan Dewi Roroyono dalam keadaan hidup pada ayahandanya, Sunan Ngerang. Maka Sunan Muria pun akhirnya menuruti permintaan mereka untuk pulang. Dan keesokan harinya Sunan Muria bertemu dengan Adipati Pathak Wharak untuk mengambil Dewi Roroyono, akan tetapi kedua kakak beradik (Kapa dan Gentiri) sudah memulangkan Dewi Roroyono. Namun terjadi perkelahian antara Pathak wharak dan Sunan Muria karena Pathak Wharak bermaksud mengambil kembali Dewi Roroyono, padahal Dewi Roroyono telah dijodohkan dengan Sunan Muria. Sehingga Pathak Wharak pun kalah dan hilang kesaktiannya.
Maka setelah peristiwa itu, Sunan Ngerang pun menikahkan putrinya dengan Sunan Muria untuk memenuhi janjinya. Yakni jika yang menolong perempuan akan dijadikan anak, sedang jika yang membebaskan putrinya itu laki-laki akan dijadikan menantu. Dan karena Kapa dan Gentiri telah berjanji mengambil Dewi Roroyono dari tangan Pathak Wharak untuk Sunan Muria, maka putri cantik itu dinikahkan dengan penguasa Gunung Muria tersebut. Namun sayangnya, setelah pernikahan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono, kakak beradik tadi dirasuki oleh iblis dan tergoda oleh kemolekan tubuh Dewi Roroyono. Sehingga mereka pun bertekat untuk menculik Dewi Roroyono untuk mereka peristri. Maka Gentiri pun pergi lebih dulu untuk mengambil kesempatan menculik sang putri. Akan tetapi karena Sunan Muria jauh lebih sakti dibanding dia, maka Gentiri pun tewas di puncak gunung Muria. Sementara Kapa pun mati di tangan Sunan Muria ketika menculik istrinya dan membawanya pergi ke tempat Wiku Lodhang Datuk.
Kedua versi ini tentu tidak bisa diklaim mana yang paling benar, namun hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama. Bahwa seburuk apapun sifat dan watak seseorang tentu masih ada hal-hal baik yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita turut menghargai warisan budaya berupa sejarah dari tokoh bernama Gentiri ini dengan menziarahi makamnya di Desa Kawengan, Jepon, kabupaten Blora.
Oleh : Mayshiza Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar